top of page
Writer's picturePanji Kadar

Kisah Kecil dari Buku Budi Darma - Fofo dan Senggring


Tiga hari sebelum Lebaran 2024 lalu, saya menunggu teman saya, Dika Satrio, di Foresthree Cirendeu. Memesan kopi susu, saya duduk di bagian luar toko. Saya pikir akan ada makanan ringan untuk sekadar mengganjal perut yang memang belum makan banyak sejak berbuka puasa maghrib tadi, tapi ternyata tidak ada makanan tersedia. Bentuk Café ini berbentuk ruko tiga lantai, tapi sepertinya yang digunakan untuk kegiatan bisnis hanya lantai satunya saja. Duduk di luar ruko, di pinggir jalan, serasa lebih nyaman daripada di dalam, di mana penjaga toko beserta anak dan istrinya menyetel lagu-lagu pop melayu dengan keras-keras di pelantang sembernya. Entah dari mana, seekor ayam betina sedang mengerami anaknya di bawah bangku panjang tempat saya duduk. Semoga saja ayam ini tidak menganggap saya sebagai pengganggu dan mematuk kaki dengan ganas.


Dika pun datang, rencana awal kami adalah untuk menandatangani beberapa dokumen penting untuk kami kirimkan ke Bandung dengan segera. Sialnya kami butuh materai dan tinta untuk cap jempol. Sepanjang jalan yang kami lewati saat menuju café ini tidak ada toko alat tulis yang buka, sepertinya memang sudah mudik semua. Karena rencana kami untuk berlagak macam pejabat yang menandatangani proyek besar itu gagal, jadi lah kami hanya mengobrol ngalor-ngidul. Tahu-tahu penjaga café dan keluarganya sudah mematikan lampu dan izin pulang pada kami. Kami pun meminta izin padanya untuk menetap sebentar di luar café tersebut, karena banyak yang saya dan Dika ingin bicarakan.


Pembicaraan acak tersebut entah bagaimana sampai pada topik tentang buku. Utamanya adalah tentang keinginan saya membeli buku Orang-orang Bloomington karya Budi Darma yang secara tidak sengaja saya lihat di Tokopedia beberapa waktu sebelumnya. Sejujurnya, Budi Darma bukan nama yang familiar buat pembaca buku baru macam saya. Tapi Dika meyakini bahwa karya-karya Budi Darma adalah favoritnya. Dia pun bercerita tentang bagaimana menariknya keabsurdan cerpen legendaris "Kecap Nomor Satu di Sekeliling Bayi" yang ada di buku Fofo dan Senggring. Judul yang sangat aneh dan tidak bisa tebak. Saya jadi penasaran untuk mencarinya di Google dan membaca sekilas di Google Books. “Bisa ya ternyata fiksi seperti ini?” tanya saya pada Dika.


Keinginan saya untuk punya Fofo dan Senggring memuncak ketika saya tahu buku cetaknya sudah sangat sulit dicari. Kalaupun ada, harganya sudah tinggi. Seorang penjual bahkan memasang harga hingga dua ratus ribuan Rupiah untuk buku yang tidak sampai dua ratus halaman itu. Beruntung, keesokan harinya saat saya cari di Tokopedia, ada seorang penjual yang ternyata salah memasang judul di tokonya, “Budi Darma – Popo dan Senggring.” Harganya pun jauh di bawah penjual lainnya. Langsung saya beli di hari itu juga. Berharap barang tersebut layak baca, karena penjual tidak memberikan deskripsi yang jelas.


Pada malam takbiran, buku itu sampai di tangan saya. Sangat cepat untuk ukuran pengiriman di waktu-waktu padat. Beberapa hari kemudian saya mulai membaca buku ini. Unit yang saya dapatkan adalah buku bekas yang dibeli pemilik awalnya pada 13 Oktober 2005 – tertera di halaman pertama. Buku ini dirawat dengan cukup baik oleh pemilik sebelumnya. Sampul plastik cukup efektif melindungi warna dan bentuk sampul aslinya.

Terdapat delapan belas cerita yang ada di buku ini. Cerita-cerita tersebut merupakan kumpulan dari karya-karya yang telah diterbitkan antara tahun 1969-2003. Buku ini sendiri pertama kali diterbitkan oleh PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) pada tahun 2005.


Setelah membaca lengkap “Kecap Nomor Satu di Sekeliling Bayi”, buat saya pribadi ini menginspirasi saya untuk mencoba menulis panjang Kembali. Sebuah keinginan yang dulunya saya kubur cukup dalam. Kini saya ambil sekop untuk menggali lagi keinginan itu, menyingkirkan tanah dan gulma kemalasan yang menimbunnya. Saya menemukan gaya penulisan yang saya pikir sebelumnya tidak mungkin dipublikasikan.


“Kecap Nomor Satu di Sekeliling Bayi” yang menceritakan tentang bagaimana terkadang nirempatinya masyarakat saat ada yang sedang berduka. Ada saja di antara kita yang menyalahkan yang sedang berduka, ada saja yang memilih membanggakan dirinya sendiri. Cerita favorit saya lainnya adalah “Manggut-manggut Semacam Ini Biasakah?”, sebuah penggambaran yang masih relevan hingga sekarang tentang bagaimana tabiat para petinggi pengemis hormat, di mana tidak ada rumus bekerja secara efektif dan efisien.


Cerita “Pengantin” dan “Fofo” saya baca di kamar gelap sendirian, sebuah kesalahan. Bagi saya yang nyalinya sebesar biji kacang ijo, membaca cerita-cerita tersebut sendirian jadi sangat mencekam. Horor-spiritualis, mungkin itu deskripsi genre yang tepat bagi kedua cerita tersebut. Walaupun, jujur, saya masih coba memahami cerita “Fofo” secara utuh. Beberapa waktu ke depan akan saya baca Kembali.


Buku Fofo dan Senggring ini menjadi pameran yang menarik, menampilkan bagaimana luasnya spektrum jenis karya yang dihasilkan Budi Darma. Bagi saya, ini adalah gerbang yang menarik untuk saya masuk ke buku-buku Budi Darma lainnya. Terima kasih, Pak Budi.


18 views0 comments

Comments


bottom of page